twitter


DHF(Demam Haemoragie Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dealam tubug penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995.
untuk mendownload askep lengkapnya Klik Disini



VIVAnews - Sejak tahun 1998 hingga 2007, tiga orang lenyap tenggelam mendadak di Great Kali River, sungai yang melintang di perbatasan antara Nepal dan India utara. Hal ini sangat aneh karena kawasan itu bukanlah habitat buaya dan predator air lain.

Terakhir, dari saksi mata yang melihat kejadian, seorang anak terlihat diseret ke dalam air oleh sesuatu yang tampak seperti babi berukuran panjang. Setelah itu, korban tidak pernah terlihat lagi, hidup atau mati. Demikian pula sisa-sisa tubuh ataupun pakaiannya.

Kasus-kasus itu memicu Jeremy Wade, biolog asal Inggris untuk mengamati apa yang ada di dalam sungai tersebut. Pasalnya, serangan hanya terjadi di kawasan tertentu, sepanjang sekitar 6 sampai 8 kilometer. Kawasan itu, menurut keterangan penduduk, merupakan kawasan di mana mereka biasa melarungkan jasad saudara-saudara mereka yang telah meninggal setelah dibakar.

Setelah meneliti menggunakan alat pengukur kedalaman, ia memastikan tidak ada lubang ditemukan, artinya serangan tidak diakibatkan oleh turbulensi yang terjadi di air.

Benar saja, tak lama setelah itu, dari jarak sekitar 1 kilometer dari serangan terakhir, seekor kerbau yang sedang minum di sungai yang hanya memiliki kedalaman 1 meter diserang dan diseret oleh sesuatu dari dalam air.

“Apapun yang mampu menyeret kerbau sebesar itu pasti memiliki ukuran dan bobot seberat 90 sampai 140 kilogram,” ucap Wade, seperti dikutip dari Discovery, 29 Desember 2010.

Dalam penelitian bawah air, Wade menemukan goonch catfish, serupa ikan lele yang memiliki panjang satu meter. Namun ikan itu gagal ditangkap. Penelitian lebih lanjut, diketahui bahwa terdapat beberapa kelompok goonch dan enam di antaranya berukuran sebesar manusia.

Setelah gagal menangkap ikan itu dengan alat pemancing, Wade coba memancing pemunculan ikan itu menggunakan seonggok kayu bakar dan disusun seolah-olah merupakan bekas kremasi jasad orang meninggal. Ternyata sukses.

Seekor goonch berukuran panjang 1,8 meter dan berbobot 75,5 kilogram, atau 3 kali lebih berat dibanding goonch lainnya berhasil ditangkap. Ikan ini diperkirakan cukup besar dan kuat untuk memakan seorang anak kecil, namun tak cukup besar untuk menyeret dan menyantap seekor kerbau.

Dari keterangan penduduk, Wade menyimpulkan bahwa ‘ikan lele’ itu telah bermutasi menjadi berselera terhadap daging manusia. Ikan juga tumbuh menjadi raksasa setelah terus mengonsumsi daging setengah matang sisa-sisa jasad manusia yang dilarungkan dan tenggelam di dasar sungai.


Pertolongan Persalinan Normal

Penatalaksanaan Persalinan Normal


clip_image002 Penatalaksanaan proses persalinan (kala I) dan proses kelahiran ( kala II ) yang ideal adalah

1. Peristiwa persalinan harus dipandang sebagai proses fisiologik yang normal dimana sebagian besar wanita akan mengalaminya tanpa komplikasi.
2. Komplikasi intrapartum kadang-kadang terjadi secara cepat dan tidak diharapkan sehingga diperlukan antisipasi yang memadai.

Dengan demikian maka tugas para klinisi adalah secara bersama-sama membuat ibu bersalin (parturien) dan pendampingnya merasa aman dan nyaman.
PROSEDUR PASIEN MASUK – “ADMISSION PROCEDURES”
Memasukkan pasien ke unit persalinan secara dini adalah sikap yang harus diambil bila pada perawatan antepartum masuk kedalam kategori kehamilan resiko tinggi.
Identifikasi persalinan
Menentukan diagnosa inpartu terhadap pasien yang datang dengan akan melahirkan seringkali tidak mudah.
Persalinan Sebenarnya - TRUE LABOR

* His terjadi dengan interval teratur
* Interval semakin singkat
* Intensitas his semakin kuat
* Rasa sakit pada punggung dan abdomen
* Disertai dengan dilatasi servik
* Rasa sakit tidak hilang dengan pemberian sedasi

Persalinan Palsu - FALSE LABOR

* His terjadi dengan interval tidak teratur
* Interval his semakin lama
* Intensitas his semakin lemah
* Rasa sakit terutama di perut bagian bawah
* Tidak disertai dengan dilatasi servik
* Rasa sakit hilang dengan pemberian sedasi


Didalam hal terdapat kecurigaan adanya persalinan palsu, perlu dilakukan pengamatan terhafap parturien dengan waktu yang lebih lama di unit persalinan.
Identifikasi parturien:

1. Keadaan umum ibu dan anak ditentukan dengan akurat dan cepat melalui serangkaian anamnesa dan pemeriksaan fisik.
2. Keluhan yang berkaitan dengan selaput ketuban, perdarahan pervaginam dan gangguan keadaan umum ibu lain adalah data yang penting diketahui.
3. Pemeriksaan fisik meliputi :
1. Keadaan umum pasien : kesan umum, kesadaran, ikterus, komunikasi interpersonal.
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu tubuh.
4. Pemeriksaan obstetri :
1. Palpasi abdomen (palpasi Leopold)
2. Frekuensi-durasi dan intensitas his
3. Denyut jantung janin
4. Vaginal toucher : ( bila tak ada kontraindikasi )
1. Servik: posisi (kedepan, tengah, posterior), konsistensi, pendataran dan pembukaan (cm)
2. Keadaan selaput ketuban (keadaan cairan amnnion bila selaput ketuban sudah pecah).
3. Bagian terendah janin (“presenting part”):
1. Kepala/bokong/bahu
2. Penurunan (“station”), gambar 6.1
3. Posisi janin berdasarkan posisi denominator
4. Arsitektur panggul dan keadaan jalan lahir
5. Keadaan vagina dan perineum
5. 5. Kardiotokografi : “fetal admission test” untuk memantau keadaan janin dan memperkirakan keadaan janin .

image
Gambar : Derajat desensus bagian terendah janin.

* Spina ischiadica = level 0
* Diatas spina ischiadica = tanda -
* Dibawah spina ischiadica= tanda +

Pemeriksaan laboratorium :

1. Haemoglobin dan hematokrit.
2. Urinalisis ( glukosa dan protein ).
3. Untuk pasien yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal harus dilakukan pemeriksaan:
* Syphilis ( VDRL/RPR )
* Hepatitis B
* HIV (atas persetujuan parturien )

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA I

1. Berikan dukungan dan suasana yang menyenangkan bagi parturien
2. Berikan informasi mengenai jalannya proses persalinan kepada parturien dan pendampingnya.
3. Pengamatan kesehatan janin selama persalinan
* Pada kasus persalinan resiko rendah, pada kala I DJJ diperiksa setiap 30 menit dan pada kala II setiap 15 menit setelah berakhirnya kontraksi uterus ( his ).
* Pada kasus persalinan resiko tinggi, pada kala I DJJ diperiksa dengan frekuensi yang lbih sering (setiap 15 menit ) dan pada kala II setiap 5 menit.
4. Pengamatan kontraksi uterus
* Meskipun dapat ditentukan dengan menggunakan kardiotokografi, namun penilaian kualitas his dapat pula dilakukan secara manual dengan telapak tangan penolong persalinan yang diletakkan diatas abdomen (uterus) parturien.
5. Tanda vital ibu
* Suhu tubuh, nadi dan tekanan darah dinilai setiap 4 jam.
* Bila selaput ketuban sudah pecah dan suhu tubuh sekitar 37.50 C (“borderline”) maka pemeriksaan suhu tubuh dilakukan setiap jam.
* Bila ketuban pecah lebih dari 18 jam, berikan antibiotika profilaksis.
6. Pemeriksaan VT berikut
1. Pada kala I keperluan dalam menilai status servik, stasion dan posisi bagian terendah janin sangat bervariasi.
2. Umumnya pemeriksaan dalam (VT) untuk menilai kemajuan persalinan dilakukan tiap 4 jam.
3. Indikasi pemeriksaan dalam diluar waktu yang rutin diatas adalah:
* Menentukan fase persalinan.
* Saat ketuban pecah dengan bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul.
* Ibu merasa ingin meneran.
* Detik jantung janin mendadak menjadi buruk (< 120 atau > 160 dpm).
7. Makanan oral
1. Sebaiknya pasien tidak mengkonsumsi makanan padat selama persalinan fase aktif dan kala II. Pengosongan lambung saat persalinan aktif berlangsung sangat lambat.
2. Penyerapan obat peroral berlangsung lambat sehingga terdapat bahaya aspirasi saat parturien muntah.
3. Pada saat persalinan aktif, pasien masih diperkenankan untuk mengkonsumsi makanan cair.
8. Cairan intravena
* Keuntungan pemberian cairan intravena selama inpartu:
o Bilamana pada kala III dibutuhkan pemberian oksitosin profilaksis pada kasus atonia uteri.
o Pemberian cairan glukosa, natrium dan air dengan jumlah 60–120 ml per jam dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan asidosis pada ibu.
9. Posisi ibu selama persalinan
* Pasien diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih posisi yang paling nyaman bagi dirinya.
* Berjalan pada saat inpartu tidak selalu merupakan kontraindikasi.
10. Analgesia
* Kebutuhan analgesia selama persalinan tergantung atas permintaan pasien.
11. Lengkapi partogram
* Keadaan umum parturien ( tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ).
* Pengamatan frekuensi – durasi – intensitas his.
* Pemberian cairan intravena.
* Pemberian obat-obatan.
12. Amniotomi
* Bila selaput ketuban masih utuh, meskipun pada persalinan yang diperkirakan normal terdapat kecenderungan kuat pada diri dokter yang bekerja di beberapa pusat kesehatan untuk melakukan amniotomi dengan alasan:
o Persalinan akan berlangsung lebih cepat.
o Deteksi dini keadaan air ketuban yang bercampur mekonium ( yang merupakan indikasi adanya gawat janin ) berlangsung lebih cepat.
o Kesempatan untuk melakukan pemasangan elektrode pada kulit kepala janin dan prosedur pengukuran tekanan intrauterin.
* Namun harus dingat bahwa tindakan amniotomi dini memerlukan observasi yang teramat ketat sehingga tidak layak dilakukan sebagai tindakan rutin.
13. Fungsi kandung kemih
* Distensi kandung kemih selama persalinan harus dihindari oleh karena dapat:
o Menghambat penurunan kepala janin
o Menyebabkan hipotonia dan infeksi kandung kemih
o Carley dkk (2002) menemukan bahwa 51 dari 11.322 persalinan pervaginam mengalami komplikasi retensio urinae ( 1 : 200 persalinan ).
o Faktor resiko terjadinya retensio urinae pasca persalinan:
+ Persalinan pervaginam operatif
+ Pemberian analgesia regional

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA II
Tujuan penatalaksanaan persalinan kala II :

1. Mencegah infeksi traktus genitalis melalui tindakan asepsis dan antisepsis.
2. Melahirkan “well born baby”.
3. Mencegah agar tidak terjadi kerusakan otot dasar panggul secara berlebihan.

Penentuan kala II :
Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan vaginal toucher yang acapkali dilakukan atas indikasi :

1. Kontraksi uterus sangat kuat dan disertai ibu yang merasa sangat ingin meneran.
2. Pecahnya ketuban secara tiba-tiba.

Pada kala II sangat diperlukan kerjasama yang baik antara parturien dengan penolong persalinan.

1. Persiapan :
1. Persiapan set “pertolongan persalinan” lengkap.
2. Meminta pasien untuk mengosongkan kandung kemih bila teraba kandung kemih diatas simfisis pubis.
3. Membersihkan perineum, rambut pubis dan paha dengan larutan disinfektan.
4. Meletakkan kain bersih dibagian bawah bokong parturien.
5. Penolong persalinan mengenakan peralatan untuk pengamanan diri ( sepatu boot, apron, kacamata pelindung dan penutup hidung & mulut).
2. Pertolongan persalinan :
1. Posisi pasien sebaiknya dalam keadaan datar diatas tempat tidur persalinan.
2. Untuk pemaparan yang baik, digunakan penahan regio poplitea yang tidak terlampau renggang dengan kedudukan yang sama tinggi.
3. Persalinan kepala:
1. Setelah dilatasi servik lengkap, pada setiap his vulva semakin terbuka akibat dorongan kepala dan terjadi “crowning”.
2. Anus menjadi teregang dan menonjol. Dinding anterior rektum biasanya menjadi lebih mudah dilihat.
3. Bila tidak dilakukan episiotomi, terutama pada nulipara akan terjadi penipisan perineum dan selanjutnya terjadi laserasi perineum secara spontan.
4. Episotomi tidak perlu dilakukan secara rutin dan hendaknya dilakukan secara individual atas sepengetahuan dan seijin parturien.


image
Gambar 6 – 2 : Rangkaian persalinan kepala

1. Kepala membuka pintu (crowning)
2. Perineum semakin teregang dan semakin tipis
3. Kepala anak lahir dengan gerakan ekstensi
4. Kepala anak jatuh didepan anus
5. Putaran restitusi
6. Putar paksi luar

Episiotomi terutama dari jenis episiotomi mediana mudah menyebabkan terjadinya ruptura perinei totalis (mengenai rektum) ; sebaliknya bila tidak dilakukan episiotomi dapat menyebabkan robekan didaerah depan yang mengenai urethrae.
Manuver Ritgen :
image


Gambar 3 Maneuver RITGEN
Tujuan maneuver Ritgen :

1. Membantu pengendalian persalinan kepala janin
2. Membantu defleksi (ekstensi) kepala
3. Diameter kepala janin yang melewati perineum adalah diameter yang paling kecil sehingga dapat
4. Mencegah terjadinya cedera perineum yang

Saat kepala janin meregang vulva dan perineum (“crowning”) dengan diameter 5 cm, dengan dialasi oleh kain basah tangan kanan penolong melakukan dorongan pada perineum dekat dengan dagu janin kearah depan atas. Tangan kiri melakukan tekanan ringan pada daerah oksiput. Maneuver ini dilakukan untuk mengatur defleksi kepala agar tidak terjadi cedera berlebihan pada perineum.
image
Gambar 4 Persalinan kepala, mulut terlihat didepan perineum
Persalinan bahu:
Setelah lahir, kepala janin terkulai keposterior sehingga muka janin mendekat pada anus ibu. Selanjutnya oksiput berputar (putaran restitusi) yang menunjukkan bahwa diameter bis-acromial (diameter tranversal thorax) berada pada posisi anteroposterior Pintu Atas Panggul (gambar 2d) dan pada saat itu muka dan hidung anak hendaknya dibersihkan (gambar 5)
image
Gambar 5 Segera setelah dilahirkan, mulut dan hidung anak dibersihkan
Seringkali, sesaat setelah putar paksi luar, bahu terlihat di vulva dan lahir secara spontan. Bila tidak, perlu dlakukan ekstraksi dengan jalan melakukan cekapan pada kepala anak dan dilakukan traksi curam kebawah untuk melahirkan bahu depan dibawah arcus pubis. (gambar 6)

image



Gambar 6 Persalinan bahu depan
image
Gambar 7 Persalinan bahu belakang





Untuk mencegah terjadinya distosia bahu, sejumlah ahli obstetri menyarankan agar terlebih dulu melahirkan bahu depan sebelum melakukan pembersihan hidung dan mulut janin atau memeriksa adanya lilitan talipusat ( gambar 8)
image
Gambar 8 Memeriksa adanya lilitan talipusat
Persalinan sisa tubuh janin biasanya akan mengikuti persalinan bahu tanpa kesulitan, bila agak sedikit lama maka persalinan sisa tubuh janin tersebut dapat dilakukan dengan traksi kepala sesuai dengan aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus uteri.
Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf ekstrimitas atas
5. Membersihkan nasopharynx:
Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan anak mulai mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil kemungkinan terjadinya aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta darah.
6. Lilitan talipusat
Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak dengan menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8
Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang berbahaya.
Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas kepala dan bila lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan talipusat terlebih dulu setelah dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat.
7. Menjepit talipusat:
Klem penjepit talipusat dipasang 4–5 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat (plastik) dipasang dengan jarak 2–3 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara klem dan penjepit talipusat.
Saat pemasangan penjepit talipusat:
Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae selama 3 menit dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang penjepit talipusat, maka akan terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke tubuh neonatus dan hal tersebut dapat mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus.
Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan nafas yang biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak ditempatkan lebih tinggi dari introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar )
PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA III
Persalinan Kala III adalah periode setelah lahirnya anak sampai plasenta lahir.
Segera setelah anak lahir dilakukan penilaian atas ukuran besar dan konsistensi uterus dan ditentukan apakah ini aalah persalinan pada kehamilan tunggal atau kembar.
Bila kontraksi uterus berlangsung dengan baik dan tidak terdapat perdarahan maka dapat dilakukan pengamatan atas lancarnya proses persalinan kala III.
Penatalaksanaan kala III FISIOLOGIK :
Tanda-tanda lepasnya plasenta:

1. Uterus menjadi semakin bundar dan menjadi keras.
2. Pengeluaran darah secara mendadak.
3. Fundus uteri naik oleh karena plasenta yang lepas berjalan kebawah kedalam segmen bawah uterus.
4. Talipusat di depan menjadi semakin panjang yang menunjukkan bahwa plasenta sudah turun.

Tanda-tanda diatas kadang-kadang dapat terjadi dalam waktu sekitar 1 menit setelah anak lahir dan umumnya berlangsung dalam waktu 5 menit.
Bila plasenta sudah lepas, harus ditentukan apakah terdapat kontraksi uterus yang baik. Parturien diminta untuk meneran dan kekuatan tekanan intrabdominal tersebut biasanya sudah cukup untuk melahirkan plasenta.
Bila dengan cara diatas plasenta belum dapat dilahirkan, maka pada saat terdapat kontraksi uterus dilakukan tekanan ringan pada fundus uteri dan talipusat sedikit ditarik keluar untuk mengeluarkan plasenta (gambar 9)
image
Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada fundus uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi tangan )

Tehnik melahirkan plasenta :

1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi talipusat.
2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran.
3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik talipusat keatas.
4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan “memelintir” plasenta sampai selaput ketuban agar selaput ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput ketuban dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan.

clip_image030clip_image032

Gambar 10 Melahirkan plasenta
Kiri: Plasenta dilahirkan dengan mengkat talipusat
Kanan : selaput ketuban jangan sampai tersisa dengan menarik selaput ketuban menggunakan cunam
Penatalaksanaan kala III AKTIF :
Penatalaksanaan aktif kala III ( pengeluaran plasenta secara aktif ) dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan.
Penatalaksanaan aktif kala III terdiri dari :

1. Pemberian oksitosin segera setelah anak lahir
2. Tarikan pada talipusat secara terkendali

Masase uterus segera setelah plasenta lahir Tehnik :

1. Setelah anak lahir, ditentukan apakah tidak terdapat kemungkinan adanya janin kembar.
2. Bila ini adalah persalinan janin tunggal, segera berikan oksitosin 10 U i.m (atau methergin 0.2 mg i.m bila tidak ada kontra indikasi)
3. Regangkan talipusat secara terkendali (“controlled cord traction”):

o Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat kontraksi, lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah dorsokranial (gambar 11 )

clip_image036
Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi talipusat terkendali

o Tangan kiri memegang klem talipusat , 5–6 cm didepan vulva.
o Pertahankan traksi ringan pada talipusat dan tunggu adanya kontraksi uterus yang kuat.
o Setelah kontraksi uterus terjadi, lakukan tarikan terkendali pada talipusat sambil melakukan gerakan mendorong bagian bawah uterus kearah dorsokranial.

1. Penarikan talipusat hanya boleh dilakukan saat uterus kontraksi.
2. Ulangi gerakan-gerakan diatas sampai plasenta terlepas.
3. Setelah merasa bahwa plasenta sudah lepas, keluarkan plasenta dengan kedua tangan dan lahirkan dengan gerak memelintir.
4. Setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri agar terjadi kontraksi dan sisa darah dalam rongga uterus dapat dikeluarkan.
5. Jika tidak terjadi kontraksi uterus yang kuat (atonia uteri) dan atau terjadi perdarahan hebat segera setelah plasenta lahir, lakukan kompresi bimanual.
6. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1 – 2 menit, ikuti protokol penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan.
7. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan injeksi oksitosin kedua dan ulangi gerakan-gerakan diatas.
8. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit:

o Periksa kandung kemih, bila penuh lakukan kateterisasi.
o Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta.
o Berikan injeksi oksitosin ketiga.

PERHATIAN : Jika uterus bergerak kebawah waktu saudara menarik talipusat, HENTIKAN !! Plasenta mungkin belum lepas dari insersinya dan kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya inversio uteri.
Jika ibu merasa nyeri atau jika uterus tidak mengalami kontraksi (lembek) , HENTIKAN USAHA MENARIK TALIPUSAT
Siapkan rujukan bila tidak ada tanda-tanda lepasnya plasenta.


PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA IV
2 jam pertama pasca persalinan merupakan waktu kritis bagi ibu dan neonatus. Keduanya baru saja mengalami perubahan fisik luar biasa dimana ibu baru melahirkan bayi dari dalam perutnya dan neonatus sedang menyesuaikan kehidupan dirinya dengan dunia luar.
Petugas medis harus tinggal bersama ibu dan neonatus untuk memastikan bahwa keduanya berada dalam kondisi stabil dan dapat mengambil tindakan yang tepat dan cepat untuk mengadakan stabilisasi.
Langkah-langkah penatalaksanaan persalinan kala IV:

1. Periksa fundus uteri tiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua.
2. Periksa tekanan darah – nadi – kandung kemih dan perdarahan setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua.
3. Anjurkan ibu untuk minum dan tawarkan makanan yang dia inginkan.
4. Bersihkan perineum dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering.
5. Biarkan ibu beristirahat.
6. Biarkan ibu berada didekat neonatus.
7. Berikan kesempatan agar ibu mulai memberikan ASI, hal ini juga dapat membantu kontraksi uterus .
8. Bila ingin, ibu diperkenankan untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Pastikan bahwa ibu sudah dapat buang air kecil dalam waktu 3 jam pasca persalinan.
9. Berikan petunjuk kepada ibu atau anggauta keluarga mengenai:

o Cara mengamati kontraksi uterus.
o Tanda-tanda bahaya bagi ibu dan neonatus.

Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum dipindahkan ke ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa:

1. Keadaan umum ibu baik.
2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan.
3. Cedera perineum sudah diperbaiki.
4. Pasien tidak mengeluh nyeri.
5. Kandung kemih kosong.

Rujukan :

1. Saifuddin AB (ed): Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 2002
2. American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists : Guideline for Perinatal Care, 5th ed Washington,DC AAP and ACOG, 2002
3. Carley ME et al : Factors that associated with clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 187:430, 2002
4. Cunningham FG (editorial) : Normal Labor and Delivery in “William Obstetrics” 22nd ed p 409- 441, Mc GrawHill Companies 2005
5. Eason E et al : Preventing perineal trauma during childbirth. A Systematic Review. Obstet Gynecol 95,464, 2000
6. Jackson KW et al: A randomized controlled trial comparing oxytocin administration before and after placental delivery in the prevention of postpartum haemorrhage. Am J Obstet Gynecol 185:873, 2001
7. Jones DL : Course and Management of Childbirth in Fundamentals of Obstetric & Gynaecology 7th ed Mosby, London1997.


Sebelum berintraksi dengan pasien ada baiknya kita harus mengetahui prinsip - prinsip dalam berkomunikasi, supaya tujuan yang kita inginkan tercapai terhadap klien kita.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan

Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya

Manfaat Komunikasi Terapeutik

Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat

Tujuan Komunikasi Terapeutik

Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.

Jenis Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995) dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik.

ü Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.

Komunikasi Verbal yang efektif harus:

Ø Jelas dan ringkas

Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil keniungkinan teijadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.

Ø Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)

Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan paru-paru anda”.

Ø Arti denotatif dan konotatif

Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan keperawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.

Ø Selaan dan kesempatan berbicara

Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.

Ø Waktu dan Relevansi

Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.

Ø Humor

Dugan (1989) dalam Purba (2003) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) dalam Purba (2006) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

Ø Komunikasi Tertulis

Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan, iklan di surat kabar dan lain- lain.

Prinsip-prinsip komunikasi tertulis terdiri dari :

v Lengkap

v Ringkas

v Pertimbangan

v Konkrit

v Jelas

v Sopan

v Benar

Fungsi komunikasi tertulis adalah:

* Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya; persetujuan operasi.

* pengingat/berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah diarsipkan.

* Dokumentasi historis, misalnya surat dalam arsip lama yang digali kembali untuk mengetahui perkembangan masa lampau.

* Jaminan keamanan, umpamanya surat keterangan jalan.

* Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat pengangkatan.

Keuntungan Komunikasi tertulis adalah:

* Adanya dokumen tertulis

* Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman

* Dapat meyampaikan ide yang rumit

* Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan

* menyebarkan informasi kepada khalayak ramai

* Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan.

* Membentuk dasar kontrak atau perjanjian

* Untuk penelitian dan bukti di pengadilan

Kerugian Komunikasi tertulis adalah:

* Memakan waktu lama untuk membuatnya

* Memakan biaya yang mahal

* Komunikasi tertulis cenderung lebih formal

* Dapat menimbulkan masalah karena salah penafsiran

* Susah untuk mendapatkan umpan balik segera

* Bentuk dan isi surat tidak dapat di ubah bila telah dikirimkan

* Bila penulisan kurang baik maka akan membingungkan Si pembaca.

ü Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.

Morris (1977) dalam Liliweni (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:

Ø Kinesik

Kinesik adalah pesan non verbal yang diimplementasikan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh. Perhatikan bahwa dalam pengalihan informasi mengenai kesehatan, para penyuluh tidak saja menggunakan kata-kata secara verbal tetapi juga memperkuat pesan-pesan itu dengan bahasa isyarat untuk mengatakan suatu penyakit yang berbahaya, obat yang mujarab, cara memakai kondom, cara mengaduk obat, dan lain-lain.

Ø Proksemik

Proksemik yaitn bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh “ruang” dan “jarak” antara individu dengan orang lain waktu berkomunikasi atau antara individu dengan objek.

Ø Haptik

Haptik seringkali disebut zero proxemics, artinya tidak ada lagi jarak di antara dua orang waktu berkomunikasi. Atas dasar itu maka ada ahli kumunikasi non verbal yang mengatakan haptik itu sama dengan menepuk-nepuk, meraba-raba, memegang, mengelus dan mencubit. Haptik mengkomunikasikan relasi anda dengan seseorang.

Ø Paralinguistik

Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia bermanfaat kalau kita hendak menginterprestasikan simbol verbal. Sebagai contoh, orang-orang Muang Thai merupakan orang yang rendah hati, mirip dengan orang jawa yang tidak mengungkapkan kemarahan dengan suara yang keras. Mengeritik orang lain biasanya tidak diungkapkan secara langsung tetapi dengan anekdot. Ini berbeda dengan orang Batak dan Timor yang mengungkapkan segala sesuatu dengan suara keras.

Ø Artifak

Kita memehami artifak dalam komunikasi komunikasi non verbal dengan pelbagai benda material disekitar kita, lalu bagaimana cara benda-benda itu digunakan untuk menampilkan pesan tatkala dipergunakan. Sepeda motor, mobil, kulkas, pakaian, televisi, komputer mungkin sekedar benda. Namun dalam situasi sosial tertentu benda-benda itu memberikan pesan kepada orang lain. Kita dapat menduga status sosial seseorang dan pakaian atau mobil yang mereka gunakan. Makin mahal mobil yang mereka pakai, maka makin tinggi status sosial orang itu.

Ø Logo dan Warna

Kreasi pan perancang untuk menciptakan logo dalam penyuluhan merupaka karya komunikasi bisnis, namun model keija m dapat ditirn dalam komunikasi kesehatan. Biasanya logo dirancang untuk dijadikan simbol da suatu karaya organisasi atau produk da suatu organisasi, terutama bagi organisasi swasta. Bentuk logo umumnya berukuran kecil dengan pilihan bentuk, warna dan huruf yang mengandung visi dan misi organisasi.

Ø Tampilan Fisik Tubuh

Acapkali anda mempunyai kesan tertentu terhadap tampilan fisik tubuh dari lawan bicara anda. Kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya, tipe tubuh (atletis, kurus, ceking, bungkuk, gemuk, gendut, dan lain-lain). Tipe tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu. Salah satu keutamaan pesan atau informasi kesehatan adalah persuasif, artinya bagaimana kita merancang pesan sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi orang lain agar mereka dapat mengetahui informasi, menikmati informasi, memutuskan untuk membeli atau menolak produk bisnis yang disebarluaskan oleh sumber informasi. (Liliweri, 2007:108).

Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai berikut: (Arwani, 2003 : 54).

Ø Ikhlas (Genuiness)

Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara tepat.

Ø Empati (Empathy)

Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan.

Ø Hangat (Warmth)

Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.

Fase - fase dalam komunikasi terapeutik

Ø Orientasi (Orientation)

Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat penggalian informasi antara perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok yaitu testing, building trust, identification of problems and goals, clarification of roles dan contract formation.

Ø Kerja (Working)

Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana yang mendukung untuk proses perubahan.

Ø Penyelesaian (Termination)

Paa fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas tujuan telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling menguntungkan dan memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan (Arwani, 2003 61).

Faktor - faktor penghambat komunikasi

Faktor-faktor yang menghambat komunikasi terapeutik adalah

* Perkembangan.

* Persepsi.

* Nilai.

* Latar belakang sosial budaya.

* Emosi.

* Jenis Kelamin.

* Pengetahuan.

* Peran dan hubungan.

* Lingkungan.

* Jarak.

* CitraDiri.

* Kondisi Fisik

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus, ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :

1. penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).

2. gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita penyakit fisik membutuhkan Penderita support dari orang lain.

3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa saja jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.

Sebenarnya ada banyak perbedaan, tetapi intinya bukan pada mengungkap perbedaan antara penyakit jiwa dan penyakit fisik tetapi pada metode komunikasinya.

Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja kacau balau.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :

1. pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.

2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement

3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama – sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau berhubungan dll.

4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus direduksi atau ditenangkan dengan obat – obatan sebelum kita support dengan terapi – terapi lain, jika pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan pasien lain bisa menjadi korban.

MANAJEMEN KRISIS

Managemen krisis adalah sebuah situasi kegawat daruratan pada klien penderita gangguan jiwa, rata - rata pasien yang masuk dalam kategori managemen krisis adalah pasien yang mengalami kondisi labil, terjadi pada pasien baru, pasien yang mengalami kekambuhan, pasien dengan regimen terapeutik tidak efektif, pasien amuk, pasien gaduh gelisah, pasien putus obat dan beberapa penyebab lain.

Tanda dan Gejala

1. Pasien Mondar - mandir
2. Tatapan mata tajam
3. Pasien susah tidur
4. Pasien menggangu pasien lain
5. Pasien berteriak - teriak
6. Pasien memukul benda atau tempat tidur
7. Pasien menimbulkan suasana gaduh
8. Pasien menolak instruksi
9. Pasien menyerang pasien lain, menyerang perawat atau tenaga kesehatan yang lain

Sebenarnya ada begitu banyak gejala dari pasien krisis ini tetapi, beberapa hal diatas hanya sebagai representasi dari sebuah situasi krisis pada klien gangguan jiwa.


Peran Perawat dalam situasi krisis

1. Kolaborasi medis pemberian psikofarmaka
2. Melakukan pemberian psikofarmaka sesuai order
3. Melakukan restrain
4. Managemen krisis
5. Pertimbangan melakukan ECT
6. Managemen lingkungan
7. Beri instruksi pada pasien lain terkait kondisi pasien kritis
8. Monitoring kondisi klien

Beberapa pertimbangan dalam melakukan Managemen krisis

1. Keselamatan pasien lain
2. Keselamatan pasien sendiri
3. Keselamatan pasien yang bersangkutan
4. Keselamatan Lingkungan

Managemen krisis dapat terjadi setiap saat dan setiap waktu, sehingga monitoring pada beberapa pasien - pasien tertentu layak menjadi sebuah pertimbangan, sebelum akhirnya timbul korban dari situasi labil pada klien tersebut.

Kesehatan merupakan hal yang paling mendasar untuk menjalankan aktifitas kita sehari-hari. Selain dari kesehatan fisik yang dapat mendukung hampir disetiap aktifitas sehari-hari, ada kesehatan lainnya yang sangat penting untuk dijaga yaitu kesehatan jiwa atau yang lebih dikenal dengan kesehatan psikologis. Kesehatan jiwa sangat perlu diperhatikan karena kesehatan ini bersifat fatal. Kesehatan jiwa bisa saja terganggu dari kejadian yang sering dihadapi sehari-hari seperti halnya stress yang mendalam, tanpa disadari gejala ringan seperti ini sering sekali diabaikan. Peranan pemerintah dalam menangani dan mengatasi gangguan jiwa dapat dicermati dengan berdirinya pusat-pusat rehabilitasi bagi para pasien gangguan jiwa, salah satunya yaitu Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Provinsi Lampung. Metode pengobatan yang diterapkan di Rumah Sakit Jiwa ini terdiri dari dua macam pengobatan yaitu pengobatan secara medis dan non medis.

Pengobatan secara medis dilakukan guna menjaga kesehatan para pasien secara fisik. Sedangkan pengobatan yang dilakukan dengan cara non-medis ini dilakukan dengan cara pengobatan terapi. Didalam terapi peranan perawat merupakan salah satu faktor penting didalam proses penyembuhan para pasiennya. Hal ini disebabkan oleh faktor komunikasi yang lebih dominan dilakukan oleh para perawat. Kegiatan pengobatan itu dimulai dengan interaksi kepada pasien untuk mencari bantuan psikologis dan perawat menyusun interaksi dengan mempergunakan dasar psikologis itu untuk membantu pasien dalam meningkatkan kemampuan meningkatkan diri dalam kehidupannya dengan mengubah pikiran, perasaan, dan tindakannya. Pesan psikoterapi dari perawatlah yang membawa pengaruh positif berupa ketenangan (bersifat dukungan) untuk kesembuhan pasien gangguan jiwa. Hasil yang ditimbulkan akibat suatu proses yang telah dilakukan oleh perawat diharapkan menimbulkan suatu akibat, efek, atau hasil yang terjadi pada penerima sesuai dengan keinginan sumber atau tujuan dari komunikasi psikoterapi itu sendiri.

Berdasarkan fenomena di atas yang membuat penulis tertarik dan sekaligus juga sebagai tujuan penelitian menggambarkan komunikasi psikoterapi yang dilakukan perawat dalam pengobatan pasien gangguan jiwa yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam studi ini adalah dengan observasi dan wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dipandu dengan pedoman wawancara.

Selanjutnya, yang penulis jadikan informan adalah perawat yang berpengalaman dan juga masih aktif, yang berjumlah 5 orang perawat sebagai obyek penelitian dan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, serta menambahkan tenaga medis lain sebagai key person. Kemudian data yang diperoleh penulis analisis melalui proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan proses pengobatan pasien gangguan jiwa yang dilakukan perawat dengan komunikasi psikoterapi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung pada dasarnya komunikasi psikoterapi merupakan metode yang paling efektif dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien gangguan jiwa. Serta, untuk mendukung proses penyembuhan pasien gangguan jiwa dibutuhkan hubungan kerjasama, pengertian dan saling membutuhkan antara perawat dan pasien gangguan jiwa selama melakukan pengobatan dan rehabilitasi untuk mendukung dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa yang meliputi, perlakuan perawat terhadap pasien gangguan jiwa, bimbingan dan pendekatan terhadap pasien gangguan jiwa, dan evaluasi dari hasil pelaksanaan komunikasi psikoterapi dalam proses pengobatan pasien gangguan jiwa. Selanjutnya, komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh perawat kepada pasien gangguan jiwa juga menggambarkan adanya sikap keterbukaan atau sikap membuka diri. Selain itu, kemampuan ketrampilan kognitif dan keterampilan tindakan sangat diperlukan perawat dalam menyampaikan pesan kesehatan pada saat melaksankan tugas.


Komunikasi Terapeutik Pada Anak
I. Pengertian Komunikasi

Ada beberapa definisi tentang komunikasi :

· Komunikasi adalah pengiriman pesan atau tukar menukar informasi atau ide / gagasan ( Oxford Dictionary ).

· Komunikasi adalah suatu proses ketika informasi disampaikan kepada orang lain melalui symbol, tanda, atau tingkah laku ( Haber, 1987 )

· Komunikasi bisa berbentuk komunikasi verbal, komunikasi nonverbal, dan komunikasi abstrak ( Champbell dan Glasper, 1995 ).

II. Prinsip Komunikasi

· Mempunyai tujuan yang jelas : membantu pasien mencapai kesejahteraan secara mandiri. Maksudnya, dengan komunikasi pasien bisa mengeksplorasi semua perasaannya dengan perawat secara maksimal, sehingga perawat bisa mengetahui permasalahan pasien secara akurat.

· Merupakan tanggung jawab perawat, sehingga dapat tercipta hubungan saling percaya antara perawat, pasien, dan keluarga.

· Merupakan elemen penting dalam praktek keperawatan. Melalui komunikasi yang baik, akan tergali data yang optimal, sehingga pengalaman yang positif juga akan terbentuk.

· Praktek Keperawatan merupakan praktek professional, yang didalamnya ada hubungan antara perawat dan pasien ( keluarga ) yang membina hubungan profesional dengan menggunakan komunikasi terapeutik ( ada tujuan yang jelas ). Sehingga semua tindakan keperawatan perlu komunikasi. Louise K, dan Brenti, ( 1997 ) mengemukakan tentang komunikasi terapeutik sebagai segala bentuk komunikasi yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan pasien atau menghilangkan distres psikologis. Komunikasi terapeutik ditunjukkan dengan empati, rasa percaya, validasi, dan perhatian.

III. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi

Ada tiga factor utama yang mempengaruhi proses komunikasi yaitu :

a. Situasi atau suasana

Suasana yang penuh dengan kebisingan akan mempengaruhi baik / tidaknya pesan diterima oleh komunikan, dibandingkan dengan situasi yang tenang atau hening sehingga komunikator dan komunikan dapat saling mengirimkan pesan dengan jelas. Dalam melakukan komunikasi dengan pasien atau keluarga, perawat harus melihat kondisi / keadaan pasien saat itu. Sebaiknya sebelum proses komunikasi dilaksanakan, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa supaya tenang dan nyaman.

b. Waktu yang tepat

Jika waktunya tidak memungkinkan janganlah memaksakan diri untuk melakukan komunikasi karena akan menimbulkan masalah lain yang lebih parah atau bahkan kita akan mendapat marah dari pasien dan keluarga. Sehingga perawat perlu memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada pasien, misalnya sewaktu kita melakukan anamnesa, pada pasien yang mengantuk atau yang lainnya.

c. Kejelasan pesan

Akan sangat mempengaruhi keefektifan komunikasi. Pesan yang kurang jelas dapat ditafsirkan berbeda oleh komunikan sehingga antara komunikan dan komunikator dapat berbeda persepsi tentang pesan yang disampaikan. Hal ini akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan komunikasi yang dijalankan. Yakinkan apa yang akan dikomunikasikan dan bagaimana mengkomunikasikannya.

Dengan melihat berbagai uraian diatas, sebenarnya efektif tidaknya suatu komunikasi juga akan dipengaruhi oleh komponen – komponen sbb :

a.Sender / pengirim / sumber pesan / komunikator

b.Message / pesan / informasi

c.Receiver / penerima pesan

d.Channel / media yang digunakan

e.Objective / tujuan

Seorang ahli komunikasi ( Laswell ) menganalisa komunikasi dengan

Who say to whom & how.

Who : Siapa yang mengatakan ( pengirim )

What : Apa yang dikatakan ( pesan )

To Whom : Kepada siapa ( penerima )

How : Bagaimana ( media yang digunakan )

IV. Komunikasi sesuai Tumbuh Kembang Anak

a. Berkomunikasi dengan Bayi

· Belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan kata – kata, sehingga bahasa nonverbal sering digunakan

· Mengungkapkan kebutuhan dengan tingkah laku dan bersuara yang dapat diinterpretasikan oleh orang sekitar

· Untuk bayi yang masih muda ( usia <>

ü Berespon positif terhadap kontak fisik yang lembut

ü Perilaku menggerak – gerakkan tangan, kaki, menendang yang

merupakan rangsangan untuk memperoleh perhatian ( misalnya bayi ingin diberi sentuhan, didekap, digendong, diajak komunikasi

dengan lembut ).

· Untuk bayi yang lebih tua ( usia > 6 bulan )

ü Stranger anxiety atau cemas dengan orang asing yang belum dikenalnya, merupakan ciri perilaku yang sering muncul.

ü Perhatiannya berpusat pada diri dan ibunya

ü Perhatikan saat berkomunikasi dengannya

ü Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya dan atau mainan yang dipegangnya

ü Kerjakan dengan lembut

ü Tanpa gerak isyarat

ü Bayi dalam pengawasan orang tua

ü Berikan obyek yang aman

b. Berkomunikasi dengan Anak Balita

( Batita/usia bermain/toddler & Prasekolah )

ü Komunikasi verbal belum efektif, karena memang belum fasih dalam berbicara.

ü Gunakan kata – kata simple, singkat, yang dikenal oleh anak karena anak hanya dapat menerima informasi secara harfiah.

ü Beri pujian untuk hal – hal yang dicapai

ü Sangat egosentris. Hanya melihat sesuatu berpusat pada dirinya ( komunikasi berpusat pada dirinya ).

ü Sering berperilaku mendorong tangan pemeriksa dan menangis pada saat pemeriksa mendekatinya.

ü Anak belum mampu memahami abstraksi, maka gunakanlah istilah – istilah yang pendek dan konkrit

ü Kenalkan alat –alat yang akan digunakan, termasuk juga dengan cara kerjanya. Akan tetapi untuk memegangkan alat kepada anak perlu diperhatikan lingkungan dan kondisi anak. ( Kalau perlu alat diperkenalkan saja, karena kalau memegang langsung, kemungkinan alat akan dibanting oleh anak. Maka perlu diwaspadai kemungkinan tersebut, hal ini lebih spesifik ke anak usia toddler ).

ü Gunakan obyek yang menyenangkan

ü Lakukan kontrak waktu dengan pasien dan keluarga, kapan tindakan akan dilaksanakan

ü Beri kesempatan untuk memegang alat khususnya untuk anak prasekolah ( dengan melihat keadaan anak, sampai bagaimana alat tersebut akan digunakan ).

ü Beri kesempatan untuk bertanya

c. Berkomunikasi dengan Anak Usia Sekolah

Ø Anak Usia 5 – 8 tahun

· Bila menemui masalah hanya percaya terhadap apa yang mereka lihat dan yang mereka ketahui tanpa memerlukan penjelasan secara mendalam.

· Anak tertarik pada aspek fungsional dari semua prosedur, objek dan aktivitas, mengapa, bagaimana, untuk apa prosedur tersebut dilakukan.

· Melihat hal tersebut, perlu menjelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan.

· Kalau perlu dengan alat yang ada peragakan cara penggunaannya, serta sebutkan fungsi peralatan yang ada.

· Anak usia tersebut, sangat memperhatikan keutuhan tubuhnya, oleh karena itu mereka peka terhadap sesuatu yang mengancam atau menyakitkan tubuhnya, sehingga beri pendekatan yang positif.

Ø Anak Usia 8 – 12 tahun

· Anak sudah mampu berfikir secara konkrit, sehingga komunikasi lebih mudah dilakukan, misalnya dengan memberi contoh melakukan injeksi pada boneka.

· Hubungan dengan petugas biasanya terjalin baik, sehingga pengalaman masa lalu bisa diandalkan

· Berdekatan dengan perawat akan lebih tenang karena sudah mengenal dengan baik.

d. Berkomunikasi dengan Anak Usia Remaja


Daftar Pustaka

A.Aziz Alimul Hidayat,Pengantar Ilmu Keperawatan Anak !,Salemba Medika,2008

Behrman,kleigman,Jenson,Nelson Texbook of Pediatrics 17th Edition,Saunders,2000

www.brighthub.com/education
http://www.childdevelopmentinfo.com/parenting/communication.shtml


Komunikasi terapeutik pada anak autis
Di Indonesia menurut data yang ada terdapat kecenderungan autisme ini meningkat, merujuk pada prevalensi di dunia, saat ini terdapat 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15%-0,20%. Jika kelahiran di Indonesia enam juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau sekitar 6900 anak pertahun dengan perbandingan anak laki-laki tiga sampai empat lebih banyak dari anak perempuan.
Autisme tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat di terapi (treatable). Maksudnya adalah kelainan yang ada di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal mungkin. Sehingga anak tersebut bisa berbaur dengan anak lain secara normal. Secara umum anak-anak dengan gangguan perkembangan ini minimal memerlukan terapi intesif awal selama 2 tahun. Dengan merujuk pada data maka akan ada 1000 anak setiap tahun yang tidak dapat mengikuti terapi tersebut.
Tujuh puluh lima persen anak autis yang tidak tertangani akhirnya menjadi tuna grahita.3 Salah satu metode yang sering digunakan karena terbukti efektif adalah terapi metoda Lovaas, yaitu terapi yang dikembangkan dari terapi applied behaviour application (ABA). Di dalam terapi Lovaas salah satu pelatihannya adalah pelatihan komunikasi melalui gambar-gambar, tujuannya selain untuk melatih daya ingat juga untuk mengenal benda-benda sekitar. Ini dikarenakan anak autis secara umum memiliki kemampuan yang menonjol di bidang visual. Mereka lebih mudah untuk mengingat dan belajar, bila diperlihatkan gambar atau tulisan dari benda-benda, kejadian, tingkah laku maupun konsep-konsep abstrak. Dengan melihat gambar atau tulisan, anak autis akan membentuk gambaran mental atau mental image yang jelas dan relatif permanen dalam benaknya.
Bila materi tersebut hanya diucapkan saja mereka akan mudah melupakannya karena daya ingat mereka amat terbatas. Karena itu dalam melakukan terapi digunakan sebanyak mungkin kartu-kartu bergambar dan alat bantu visual lain untuk membantu mereka mengingat, hal ini juga berlaku untuk anak autis yang hanya mengalami gangguan di bidang verbal.4
Untuk melatih penderita agar bisa berkomunikasi, kita harus menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi mereka. Orang tua dan pendidik bisa menggunakan ekspresi wajah, gerak isyarat, mengubah nada suara, menunjuk gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan komunikasi dan menggunakan simbol-simbol. Cara-cara tersebut tidak hanya digunakan secara tersendiri, tetapi juga dapat digabungkan sehingga membentuk pesan yang lebih kuat.
Masalah yang timbul adalah di Indonesia belum ada alat yang secara terintegrasi dengan unsur-unsur tersebut diatas. Yang ada adalah alat-alat yang harus didatangkan dari luar negeri atau dibuat sendiri, ini jelas tidak praktis. Melihat dengan meningkatnya jumlah penderita autis, maka dibutuhkan sebuah alat yang mampu mengintegrasikan unsur-unsur visual dan audio yang dapat berinteraksi untuk menunjang pelatihan komunikasi pada anak autis.
Sebagai pemecahan teknologi multimedia yang mengemas dan mampu mengintegrasikan unsur visual dan audio secara interaktif untuk mendidik anak autis, karena CD-ROM yang merupakan bagian dari teknologi itu mampu menampung data yang setara dengan 11.000 tumpukan kertas ukuran A4, bahkan lebih dengan menggunakan teknik kompresi data.
4 Arh,“Meningkatkan komunikasi pada anak autis”, artikel pada harian Kompas (21-04- 2002): 21 3
Selain itu dengan aplikasi multimedia interaktif ini dimungkinkan pemilihan materi yang hendak dipelajari secara bebas, misalnya pada hari ini pengenalan warna yang akan dipelajari, esok hari mungkin pengenalan huruf, atau kombinasi keduanya dalam satu hari, tergantung dari minat anak tersebut, dan ini semua dikemas dalam sebuah CD-ROM. Dengan menggunakan printer, kartu bergambar obyek dapat dicetak sehingga dapat digunakan tiap waktu, anak autis dalam metoda tatalaksana membutuhkan suasana belajar yang kontinyu, sehingga ia menjadi terlatih.
Tetapi dengan dengan begitu banyak fitur aplikasi multimedia interaktif ini tidak ditujukan untuk menjadi one stop solution, karena dalam pelatihan anak autis tetap diperlukan media lain, aplikasi multimedia interaktif ini membatasi diri hanya untuk menjadi pelengkap.
Dalam aplikasi multimedia interaktif ini terdapat isi atau content yang akan dikomunikasikan kepada anak autis berupa pembelajaran pengenalan obyek sehari-hari. Dalam aplikasi multimedia interaktif wahana yang menjembatani agar isi atau content ini dapat tersampaikan adalah graphical user interface atau antar muka grafis.
Graphical user interface (GUI) adalah sarana untuk berinteraksi dengan isi atau content yang hendak disampaikan, bila desain GUI tidak dapat dimengerti sudah dapat dipastikan aplikasi tersebut menjadi mubazir karena isi atau content tidak dapat dimengerti oleh komunikan.
Pada anak autis, dengan mengikuti aturan yang telah menjadi standar di dunia maka GUI akan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak mengabaikan unsur komunikasinya sehingga isi atau content dapat disampaikan dengan baik kepada penderita.

Daftar Pustaka
1. Apple Corp. Inside Mac OS X :Aqua Human Interface Guidelines, (Apple Computer, Inc. : California) 2001
2. Arn. “Polusi sebabkan autisma.” Harian Kompas, 26-09-2000
3. Arh.“Meningkatkan komunikasi pada anak autis.”, Harian Kompas 21-04- 2002
4. Aries Arditi, Making Text Legible: Designing for People with Partial Sight, 23-04-2002 terdapat di situs http://www.lighthouse.org
5. Fred T. Hofstetter, Multimedia Literacy (New York, McGraw-Hill Irwin) 2001.
6. Jalaludin Rakhmad. Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya 1992


Komunikasi terapeutik pada anak ADHD

Apakah ADHD itu?
ADHD adalah kependekan dari attention deficit hyperactivity disoerder, ( Attention = perhatian, Deficit = berkurang, hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan ). Atau gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif.
Secara umum menjelaskan kondisi anak-anak yang memperlihatkan simtom-simtom kurang konsentrasi, hiperaktif, dan impulsive yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.
Bagaimana cara berkomunikasi dengan anak ADHD?
Hubungan efektif dan proaktif antara orang tua dan sekolah adalah vital bagi keberhasilan menyeluruh dalam menghadapi siswa ADHD.
Umumnya, orang tua mencoba untuk bertindak demi kepentingan anak sepanjang waktu. Tindakan mereka biasanya berdasarkan informasi yang dapat mereka peroleh pada waktu itu. Jika ternyata ada kontradiksi antara apa yang disebut nasihat professional dan atas apa yang orang tua lakukan, biasanya ada alasan kuat untuk ini. Orang tua harus menemukan cara mereka sendiri dalam menerima mereka dan menghadapi masalah lingkungan mereka sendiri.
Merupakan hal yang biasa, bahwa orang tua dari anak ADHD mengalami konflik antara yang satu dan yang lainnya. Misalnya, si Bapak menyalahkan si ibu karena tidak mengawasi si anak. Si ibu menjelaskan, bahwa segala yang di usahakannya tidak berhasil. Sementara si bapak, meskipun ada potensiuntuk membantu situasi tersebut, namun dapat member reaksi dengan cara tidak membantu, seperti menghindari pulang ke rumah sampai si anak tidur atau memihak si anak melawan ibunya.
Beberapa cara membantu orang tua adalah mencoba menempatkan mereka ke dalam cara pandang depan yang meskipun menjengkelkan, namun tidak mengancam jiwa, serta mendorong mereka agar proaktif dan tidak reaktif. Nasihat tau saran yang paling penting adalah agar mereka memiliki kesabaran luar biasa.
Kontak telepon, saling berkirim sms, atau mengirim faks, rapat orang tua dengan guru secara periodic, dan penyediaan buku penghubung sehari-hari,semuanya merupakan sarana untuk membantu mencegah terjadinya kesalapahaman antara orang tua dan sekolah. Komunikasi yang baik akan menjamin setiap manipulasi dari situasi anak khusus dapat di hindari dengan kontak yang erat dan proaktif.
Dua pertimbangan yang harus di ingat setiap saat adalah
1. Anak ADHD dapat merasakan banyak tekanan atas hubungan keluarga, khususnya anak yang menralami Oppositional Depiant Disorder ( ODD ).
2. Dalam situasi yang selalu sulit, kemungkinan ADHD dan ODD, juga orangtua yang tidak di akui harus dipertimbangkan.

Ada banyakprogaram yang bagus di rancang untuk membantu orang tua mengenali masalah antara yang satu dan yang lainnya. Dalam hal ini, hubungan mereka dengan si anak dan anggota keluarga lainnya. Teknik penanganan/pengurusan rumah dapat di ajarkan melalui permainan peran dan sampai batas tertentu dengan terapi kelompok. Keberhasilan program-program ini sebagian besar bergantung pada mutu konsultan dan keterbukaan semua pihak untuk nasihat yang objektif.
Mutu terbaik yang di miliki searang konsultan adalah bersikap tidak membingungkan dan tidak rumit. Mereka perlu mengarahkan pada satu atau dua masalah khusus dan mengembangkan strategi untuk membantu orang tua menolong diri mereka sendiri di kemudian hari.

Beberapa unsure penting pelatihan orang tua adalah
- Pendidikan keluarga mengenai ADHD
- Keterampilan memecahkan masalah
- Memperbaiki pengawasan orang tua
- Mengurangi ketegangan
- Meningkatkan pengaruh medikasi
- Keterampilan berkomunikasi
- Reframing atau restrukturisasi
- Psikoterapi individual
Sumber:
Judul Buku anak ADHD, karangan:
1. Drs. MIF. Baihaqi, Msi.
2. Drs. M. Sugiarmin, Mpd.

hits pengunjung

web counter

kotak chat

clocklink

waktu sholat

Diberdayakan oleh Blogger.